Sabtu, 06 Februari 2010

Ditemukan 160 Jenis Burung di Cagar Alam Teluk Bintuni



Para peneliti World Wild Fund (WWF) menemukan 160 jenis burung dan 39 jenis mamalia serta buaya air tawar dengan tingkat populasi cukup tinggi di Cagar alam Teluk Bintuni, Irian Jaya Barat.

"Cagar alam teluk bintuni seluas 4.500 hektar sebagian besar terdiri atas hutan bakau (mangrove) yang merupakan habitat utama tempat berkembang biaknya buaya air tawar, udang dan berbagai jenis ikan," kata Aktivis WWF Manokwari, Robert Mandosir kepada pers di Manokwari, Senin.

Dikatakannya, habitat kering berkembang biak puluhan jenis burung Maleo dan Cenderawasih, yang diburu secara kejam oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

Menurut Mandosir, dengan ditetapkannya Kawasan Teluk Bintuni sebagai areal cagar alam, maka sudah saatnya kawasan tersebut tertutup untuk kegiatan yang tidak terkait dengan aspek konservasi.

Data WWF menyebutkan di Tanah Papua terdapat 18 cagar alam diantaranya cagar alam pegunungan Arfak yang memiliki enam jenis kupu-kupu sayap burung (Ornithoptera) yang paling indah di dunia dan aneka jenis kelelawar.

Menurut aktivis itu cagar alam Teluk Bintuni sejak dulu mendapat perhatian serius beberapa negara di dunia, yakni Jepang, Korea, China, Philipina, Inggeris, Belanda pada sektor perikanan dan hutan bakau yang merupakan tempat mencari makan aneka jenis udang, kepiting, ikan serta buaya.

Untuk itu pihak WWF sejak dulu melakukan penelitian guna mengumpulkan data secara lengkap dan akurat tentang populasinya. Kawasan tersebut merupakan tempat populasi buaya air tawar

(Corocodylus Prosus) terpadat di Indonesia, sedangkan di cagar alam pedunungan Arfak para peneliti WWF menemukan sebuah goa kuno diperkirakan berusia ribuan tahun.

Gua itu memiliki panjang sekitar 900 meter terbagi dalam dua lubang dengan tiga pintu masuk.

Gua itu mendapat perhatian peneliti karena didalamnya terdapat sarang puluhan jenis kelelawar yang hidup di sekitar kawasan cagar alam pegunungan Arfak, beberapa jenis diantaranya membantu tanaman di daerah ini terutama penyerbukan.

Untuk itu, gua tersebut harus dilindungi dari ancaman kepunahan, terutama untuk melindungi jenis kelelawar buah (Subroto megehirotera), jenis ini memiliki prosentase tertinggi dari populasi mamalia di hutan tropis basah yang menguntungkan masyarakat petani.

Data WWF menunjukan, kelelawar pegunungan Arfak sangat tergantung pada goa selama masa krisis dalam siklus hidupnya, sehingga kawasan ini sejak dulu ditetapkan menjadi suaka margasatwa migima dengan luas yang diusulkan 3.800 hektar.

Dalam gua tersebut berdiam sekitar 1.000 ekor kelelawar jenis Rhinolophidus Eutyotis Temidus dan tiga spesies dari Genus Miniopterus Magnater, Miniopterus Pisillus Macroceneme dan Miniopterus Schreibersii Oceanis serta sejumlah Arthropoda dan serangga.

Untuk melindungi satwa ini dari ancaman kepunahan akibat perburuan liar secara tak terkendali oleh masyarakat pihak WWF beberapa tahun lalu telah memasang jeruji besi pada pintu masuk gua yang hanya bisa dibuka petugas WWF dan BKSDA Manokwari.

Pemasangan pintu gua tersebut sudah diperhitungkan tidak akan mempengaruhi suhu di dalam gua sehingga tidak memberikan dampak buruk bagi kelangsungan hidup dan populasi mamalia itu, katanya.

Pintu gua dengan sistem jeruji besi dirancang sesuai kondisi alami sehingga dengan mudah satwa langka ini bisa bergerak dengan bebas dan didunia hanya ada di Amerika Serikat, Inggris dan Indonesia (Pegunungan Arfak-Manokwari).

Pada bagian atas pintu gua masuk tidak dipasang jeruji, karena menjadi ruang untuk kelelawar keluar masuk gua mencari makan terutama jenis Dobsonia dan Rousettus yang bebas terbang. (*/erl)

Sumber :
http://www.kapanlagi.com/h/0000075288.html
1 Agustus 2005

Sumber Gambar:
http://thinkquantum.wordpress.com/2009/12/09/contoh-fauna-khas-daerah/
http://maleo.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar